Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) dengan dukungan penuh Lazismu, kembali mengirimkan relawan dan logistik ke pulau Bonerate dan Kalaota, kawasan terdampak parah gempa magnitudo 7,4 yang terjadi Selasa (14/12/2021) silam di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan.
Sebanyak 15 orang relawan berasal dari MDMC Sulawesi Selatan,
Kabupaten Selayar, Jawa Tengah dan Yogyakarta berangkat menuju dua pulau
tersebut Sabtu (08/01) pagi dengan menggunakan kapal Pelni.
Mereka membawa barang logistik untuk kebutuhan respon di
Bonerate dan Kalaotoa yang direncanakan akan berlangsung sampai 1 bulan ke
depan. Total logistik yang dibawa sebanyak 7,5 ton dengan rincian 250 paket
hunian darurat terdiri 500 lembar tenda terpal, 250 kg kawat dan 325 kg paku.
Kemudian 500 paket family kit berupa perlengkapan mandi berupa
sabun mandi, sabun pakaian, sikat serta pasta gigi, perlengkapan tidur berupa
kelambu. Perlengkapan makan berupa gelas, piring, sendok makan, sendok nasi,
sendok sayur, panci, tempat nasi dan perlengkapan sholat berupa sarung dan
sajadah.
Fathul Faruq, koordinator tim respon MDMC PP Muhammadiyah untuk
gempa Selayar menyampaikan bantuan tersebut adalah dari masyarakat indonesia
yang disalurkan melalui lazismu, lebih lanjut Faruq menceritakan berbagai
tantangan yang dihadapi timnya dalam respon ini. Menurutnya, para relawan yang
dikirim beserta logistik akan ditempatkan di pos pelayanan (posyan)
Muhammadiyah yang sudah berdiri di Desa Sambali, Bonerate dan Garaupa Raya,
Kalaotoa.
Berdasarkan informasi yang masuk, kedua pulau tersebut sekarang
roda ekonominya belum lancar, untuk belanja juga masih sulit. “Kalaupun ada,
dalam skala besar harus dikirim dari Makassar. Untuk kebutuhan kebutuhan sehari
hari itu juga masih terbatas, ada beberapa yang bisa dibeli disana misalnya
logistik makanan untuk anggota tim,” kata Faruq.
Secara umum, tambah Faruq, memang yang didatangi oleh timnya merupakan desa-desa dengan kerusakan paling parah daripada di desa-desa lainnya dan aksesnya juga cukup sulit. Selain logistik, akses komunikasi juga menjadi perhatian utama tim Muhammadiyah.
Komunikasi di dua pulau tersebut hanya bisa dilakukan di lokasi-lokasi dan jam-jam tertentu. Bahkan di 2 pulau tersebut belum ada jaringan PLN masuk, listrik hanya mengandalkan genset dan solar cell. “Ini menjadi tantangan koordinasi kami,” ungkap Faruq. Karena masuk pulau-pulau terluar, Faruq mengatakan jika terjadi kondisi emergensi, fasilitas kesehatan terbaik hanya puskesmas setempat, sedangkan yang paling dekat dan paling cepat diakses itu di Maumere, NTT.
Kalau mau kembali ke pulau Selayar, akses transportasinya
menggunakan kapal pelni ataupun kapal feri itu pun seminggu sekali jadwalnya. “Ada
kapal rakyat, kapal kayu yang biasa ngangkut barang-barang, mereka punya trip,
hanya saja tidak terjadwal. Kalau memang pas barang dimuat banyak mereka jalan,
kalau tidak, mereka juga tidak punya jadwal jalan,” ungkap Faruq. Maka dari
itu, menurut Faruq, MDMC menyiapkan seluruh kebutuhan utamanya untuk emergency
kesehatan itu dibawa dari Pulau selayar, baik obat obatan termasuk makanan,
untuk mengantisipasi jika terjebak ombak dan tidak bisa keluar dari kedua pulau
tersebut.
Untungnya, di kedua pulau tersebut warga punya jiwa sosial yang
cukup tinggi karena di beberapa musim mereka harus bertahan, tidak bisa akses
keluar dan mendapatkan belanja dari luar. Mereka hanya bertahan dengan
mengandalkan apa yang dimiliki dan ada di pulau itu, bisa sampai 3 sampai 4
bulan. “Ini saya pikir menjadi catatan yang sangat krusial untuk teman-teman
tim. Jika tim kami harus melakukan hal yang sama dengan warga, harus survive
bulan 2 sampai 3 bulan tanpa asupan logistik dari luar,” pungkasnya. (Tim Media
MDMC).