Islam adalah agama yang memperhatikan segala persoalan manusia dalam berbagai aspek, termasuk aspek ekonomi. Di antara bukti perhatian Islam terhadap ekonomi adalah adanya konsep zakat di dalam ayat-ayat al- Qur’an dan hadis Nabi saw. Zakat dengan segala konsepnya telah menjadi bagian dari sistem sosial-ekonomi Islam. Ini karena zakat dilaksanakan dengan memberikan harta dengan kadar tertentu kepada yang berhak menerimanya, sehingga diharapakan mampu menjadi solusi atas berbagai persoalan perekonomian.
Akhir-akhir ini kaum muslimin di Indonesia sedang dilanda musibah besar yaitu menyebarnya virus corona (covid-19) sehingga banyak masyarakat yang terkena imbasnya. Dari segi ekonomi misalnya, masyarakat kecil terkena efek dari pembatasan sosial demi mencegah penyebaran virus ini. Sebagian harus terputus mata pencahariannya, terlebih lagi bagi yang sebelumnya memiliki kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Mereka tentu sangat membutuhkan bantuan berupa materi untuk menopang kelangsungan hidup mereka. Oleh karena itu, mereka sangat membutuhkan bantuan materi dari orang-orang kaya untuk menopang kehidupan mereka khususnya di saat pandemi ini.
Lalu timbul pertanyaan tentang boleh tidaknya mendahulukan pembayaran zakat sebelum waktunya kepada fakir miskin yang sangat membutuhkan terutama pada kondisi pandemi ini karena melihat maslahat yang lebih besar. Meskipun hukum asal bahwa zakat harta wajib dikeluarkan jika sudah cukup nisab dan genap setahun (haulnya).
Zakat secara bahasa berarti tambah atau bersih. Secara Istilah melaksanakan zakat berarti membersihkan diri dari kotoran dosa dan sebagainya dengan menyerahkan sebagian harta kekayaan yang telah mencapai jumlah tertentu kepada yang berhak sesuai dengan ketentuan syara‟.
Melalui buku Pedoman Zakat Praktis Lazis Muhammadiyah juga menjelaskan tentang syarat-syarat kekayaan yang wajib dizakati, yaitu:
- Harta kekayaan dimiliki secara penuh
- Harta tersebut dapat bertambah atau berkurang bila diusahakan atau memiliki potensi untuk dikembangkan. Mengenai harta yang dapat berkembang ini, ulama dapat melakukan ijtihad dengan menambahkan jenis harta lain untuk dizakati seperti hasil usaha.
- Mencapai nishab sesuai dengan ketentuan syara’.
- Harta yang dihitung sudah dikurangi dengan hutang yang dimilikinya.
- Telah berlalu 1 tahun (haul). Bahwa pemilikan harta tersebut sudah berlalu masanya selama dua belas bulan Qomariyyah.
Dalam kaitannya dengan zakat, meskipun terdapat inovasi pada penetapan jenis harta yang wajib untuk dizakati beserta ketentuannya, Muhammadiyah masih berprinsip bahwa hanya harta tertentu saja yang wajib untuk dizakati dengan tetap memperhatikan nishab dan haul.
Konsep Nishab Zakat
Yang dimaksud dengan nishab disini adalah syarat jumlah minimum aset yang dapat dikategorikan sebagai aset wajib zakat. Islam telah mensyaratkan dalam pelaksanaan zakat mal agar aset yang dizakati harus mencapai nishab tertentu.
Ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama dalam menafsirkan dan menentukan kadar nishab. Akan tetapi sebagian besar pendapat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan nishab adalah sejumlah makanan, emas, dan lain sebagainya yang dapat mencukupi kebutuhan dan belanja keluarga kelas menengah selama satu tahun.
Sebagaimana juga telah dijelaskan oleh Rasulullah Saw ketika berkata kepada seseorang, artinya, “Mulailah dengan dirimu sendiri, kemudian sedekahkanlah dan jika ada kelebihan dari yang kamu beri kepada keluargamu, maka hal tersebut menjadi milik kerabatmu dan apabila masih berlebih maka lakukan begini dan begini”(HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Sistem akuntansi zakat sangat memperhatikan akan pentingnya standar kemampuan bagi muzaki. Adanya konsep nishab menunjukkan bahwa yang menjadi objek zakat hanyalah aset surplus saja. Surplus nilai nishab berarti seorang muzaki masih mempunyai sisa aset sebesar nishab setelah memenuhi kebutuhan pokoknya. Prinsip ini bertujuan agar tidak membebani kaum muslimin dan mendorong mereka untuk meningkatkan produktivitas. Standar kemampuan dalam perhitungan zakat pada seluruh aset ditentukan dengan besaran nishab yang beragam dalam kajian fikih klasik, yaitu 20 dinar atau 200 dirham atau 85 gram emas atau 5 sha’. Yang perlu diperhatikan adalah dalam kadar nishab ditentukan pada akhir tahun dengan ketentuan harga pasar.
Konsep Haul Zakat
Dalam pemikiran Islam, tahun Qamariyyah ( hijriyah) dijadikan sebagai standar minimum untuk pertumbuhan nilai aset, dengan demikian maka haul (satu tahun) merupakan titik awal dari suatu pertumbuhan. Karena itu, seorang calon muzakki yang diwajibkan zakat harus melakukan penilaian atas harta yang dimiliki sesuai dengan nilai pasar setelah kepemilikannya melewati haul.
Prinsip ini ditegaskan oleh pernyataan pada ahli fikih Islam seperti pernyataan Imam Syafi’I : “Haul merupakan syarat mutlak dalam kewajiban zakat, apabila kurang dari haul walaupun sedikit, maka tidak ada kewajiban zakat.” Imam Malik menyatakan bahwa haul merupakan syarat kewajiban zakat pada barang selain tambang, harta karun, dan tanaman. Dengan demikian, zakat pertanian, perkebunan, barang tambang, dan harta karun dikecualikan dari prinsip ini.
Acuan besaran aset ditentukan pada akhir tahun, sedangkan kenaikan ataupun turunnya nilai aset keuangan yang dimiliki sebelum akhir tahun tidak menjadi hal yang menentukan. Adanya konsep haul akan mempermudah seseorang atau perusahaan untuk melihat secara jelas perkembangan nilai aset yang dimilikinya. Tidak kalah pentingnya adalah konsep ini menunjukkan bahwa seorang muslim hanya wajib membayar zakat satu kali dalam satu haul, tidak diperkenankan untuk membayar zakat dua kali atau lebih dalam satu haul ( no double charges dalam zakat )
Pendapat Para Ulama Mengenai Mendahulukan Pembayaran Zakat Sebelum Waktunya
Zakat harta seperti uang, emas dan perak serta barang dagangan, sebelum masuk haulnya (sebelum cukup setahun), dibolehkan menurut jumhur ulama. Hujjah jumhur dalam masalah ini adalah hadis yang dihasankan oleh Syekh al-Albani bahwa Nabi SAW mengizinkan Abbas bin Abdul Muththalib (paman Nabi Saw) untuk menyegarakan pembayaran zakat harta dua tahun lebih awal dari haulnya.
Dari ‘Ali, ia berkata,
أَنَّ الْعَبَّاسَ سَأَلَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فِى تَعْجِيلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ فَرَخَّصَ لَهُ فِى ذَلِكَ
“Al‘Abbas bertanya kepada Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bolehkah mendahulukan penunaian zakat sebelum mencapai haul. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan dalam hal itu. ”[1]
Pendapat jumhur ulama tentang kebolehan menyegerakan pembayaran zakat harta sebelum masuk haulnya berdasarkan hadis yang sahih, juga berdasarkan penguat bahwa haul sebagaimana yang dikatakan al-Khattabi bahwa disyaratkannya masuknya haul (genap setahun) hanyalah untuk meringankan bagi orang yang terkena wajib zakat harta, maka jika ia mengugurkan haknya (haulnya), maka gugurlah haknya (haulnya). Akan tetapi, tidak sepantasnya menyegerakan pembayaran zakat hartanya lebih dari dua tahun berdasarkan zhahir nya hadis Nabi Saw.[2]
Ibn Rusyd[3] menyebutkan bahwa Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i membolehkan mengeluarkan zakat harta sebelum haulnya, berdasarkan hadis yang sama dihasankan oleh Syekh al-Albani bahwa Nabi SAW mengizinkan Abbas bin Abdul Muththalib (paman Nabi Saw) untuk menyegarakan pembayaran zakat harta dua tahun lebih awal dari haulnya.
Syekh Shalih al-Fauzan juga mengatakan :
“Dibolehkan mengeluarkan zakat harta dua tahun lebih awal atau kurang dari itu sebelum genap haulnya sebagaimana hadis nabi Saw, bahwa nabi Saw menerima zakat harta Abbas ra untuk 2 (dua) tahun lebih awal dari waktunya (haulnya) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud. Ini adalah pendapat jumhur ulama tentang kebolehan menyegerakan pembayaran zakat harta jika telah cukup nisabnya, baik zakat perternakan, pertanian, uang, emas dan perak atau barang dagangan.”[4]
Imam Ibn Baz rahimahullah (seorang ulama besar Saudi Arabia) mengatakan:
“Tidak mengapa menyegerakan pembayaran zakat harta sebelum cukup setahun (haulnya). Menyegerakan pembayaran zakat harta karena ada maslahat, maka tidak mengapa. Jika haulnya baru genap di bulan Syawal, namun seseorang ingin mengeluarkan zakat hartanya di bulan Ramadan, maka tidak mengapa karena ingin mendapatkan kemuliaan bulan Ramadan atau ia melihat kondisi fakir miskin yang sangat membutuhkan sebelum cukup setahun, maka ia menyegerakan pembayaran zakat untuk mereka (fakir dan miskin).”[5]
Dibolehkan pula menyegerakan pembayaran zakat harta sebelum genap setahun dan setelah cukup nisabnya, apalagi jika menyegerakannya karena melihat kemaslahatan bagi orang-orang fakir dan miskin, sebagaimana hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Ali ra bahwa Abbas ra (paman Nabi Saw) pernah bertanya kepada Nabi Saw tentang menyegerakan pembayaran zakat harta sebelum genap setahun, maka Nabi Saw membolehkannya.
Contoh aplikasi menyegerakan pembayaran zakat harta sebelum genap haulnya (setahun) sebagai berikut:
Seseorang yang mempunyai simpanan uang yang sudah cukup nisabnya (kadarnya) senilai 85 gram emas di bulan Muharam tahun 1442 H, maka ia boleh menyegerakan pembayaran zakat hartanya sebesar 2,5% kepada fakir miskin di bulan Ramadan tahun ini 1442 H. Sebenarnya ia berkewajiban mengeluarkan zakat hartanya jika cukup nisabnya di bulan Muharam tahun depan 1443 H jika sudah cukup haulnya (setahun), namun ia ingin menyegerakan pembayaran zakatnya ke fakir miskin khususnya tatkala fakir miskin tersebut sangat membutuhkan bantuan, maka ini dibolehkan.
Apalagi di saat pandemi wabah covid-19, yang mana banyak orang-orang yang sangat butuh bantuan, utamanya kaum fakir miskin. Alasan lain, boleh saja mendahulukan penunaian zakat sebelum mencapai haul jika terdapat sebab wajibnya asalkan telah mencapai nishab secara sempurna. Hal ini semisal dengan penunaian utang sebelum jatuh tempo atau penunaian kafarat sumpah sebelum sumpah tersebut dibatalkan.
Wallahu a’lam bishhowab.
Sumber Referensi :
- M. Nur Riyanto Al Arif. 2013. “Optimalisasi Peran Zakat dalam Perekonomian Umat Islam diIndonesia” Jurnal Ulul Albab Volume 14, No.1 Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
- Dewan Syariah LAZIS Muhammadiyah, 2016. Pedoman Zakat Praktis. Yogyakarta : Suara Muhammadiyah.
- Ronny Mahmuddin, dkk.2020. 2 “Spesialissue: Islamic Law Perspektiveon Covid-19” Jurnal Bustanul Fuqaha Bidang Hukum Islam ,Vol. 1, No. Website: https://journal.stiba.ac.id.
- Didin Hafidhuddin,. 2002. Zakat Dalam Perekonomian Modern . Jakarta: Gema Insani Press.
- Bin Baz, “Hukum Ta’jil Zakah wa Miqdaruha fil Mal wa Hukmu Ikhrajiha min gairil mal allazi wajabat fihi zakah https://binbaz.org.sa/fatwas/11229 . diakses pada 1 September 2020 pukul 09.32 WIB.
- IslamWeb.net.“Hukum Ikhraj Ba’dhi Zakah Qabla Hulul Haul”. https://www.islamweb.net/ar/fatwa/113457. diakses pada 2 September 2020 pukul 10.21 WIB.
- HPT Muhammadiyah cet. ke-3. Kitab Zakat : Yogyakarta . Suara Muhammadiyah. 2009.
- Irwanuddin . 2018.”Dinamika Zakat dan Urgensinya dalam AlQur’an dan Hadis”. Jurnal Al Qardh, Nomor 5, Juli . UIN Alauddin Makassar.
- Nawawi , 2012 .“Hukum Membayar Zakat dan Pajak Bagi Umat Islam diIndonesia” Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq, Vol. 3 No. 2, September. Program Studi Ekonomi Syari’ah FAI-UIKA Bogor.
- Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta, Al-Amwaal Fiil Islaam Fungsi Harta Menurut Ajaran Islam, Yogyakarta: Penerbit Persatuan Yogyakarta, t.t.
- Ibnu Rusyd, (1995). Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid. Beirut: Dar Ibnu Hazm.
- Ma’rifah Saifullah . 2019. “Konsep Amwal dalam Buku Zakat Kita Perspektif Muhammadiyah”, Risalah Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Yogyakarta.
[1] HR. Abu Dawud no. 1624, Tirmidzi no. 678, Ibnu Majah no. 1795 dan Ahmad 1: 104. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[2] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/113457. diakses pada 2 September 2020 pukul 10.21 WIB
[3] Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa nihayah al-Muqtasid, (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1995), II:538.
[4] Shalih al-Fauzan, Al-Mulakhkhas al-Fiqhi (Iskandariah: Dar al-Aqidah, 2009),.I: 260 dalam Ronny Mahmuddin, dkk . Jurnal Bustanul Fuqaha Bidang Hukum Islam ,Vol. 1, No. 2 tahun 2020 “Spesialissue: Islamic Law Perspektiveon Covid-19”: hlm. 125-136 .Website: https://journal.stiba.ac.id.
[5] Bin Baz, “Hukum Ta’jil Zakah wa Miqdaruha fil Mal wa Hukmu Ikhrajiha min gairil mal allazi wajabat fihi zakah” Situs resmi syekh Bin Baz . https://binbaz.org.sa/fatwas/11229. dalam Ronny Mahmuddin, dkk . Jurnal Bustanul Fuqaha Bidang Hukum Islam ,Vol. 1, No. 2 tahun 2020 “Spesialissue: Islamic Law Perspektiveon Covid-19” : hlm. 125-136.Website: https://journal.stiba.ac.id. diakses pada 1 September 2020 pukul 09.32 WIB.