Nilai Diri adalah Keimanan dan Akhlaq

Nilai Diri adalah Keimanan dan Akhlaq

Ada seorang miskin yang mengenakan kain usang , pakaian lusuh , perut lapar , kaki tak beralas, berasal dari garis keturunan yang tidak terhormat, tidak punya kedudukan, harta dan keluara besar, tidak punya rumah untuk berteduh, tidak punya perabotan yang berharga , tidur dimasjid dan berkasur pasir bercampur kerikil.

Namun begitu, dia adalah seorang selalu berdzikir kepada Rabb-Nya , selalu membaca kitab Allah Swt dan selalu berada pada shaf terdepan dalam shalat maupun perang. Suatu ketika dia lewat didekat Rasulullah Saw. Lalu Rasulullah Saw memanggil namanya dengan nyaring, “Wahai Julaibib, tidakkah kamu menikah ?”.

Orang itu menjawab,”Wahai Rasulullah Saw, siapakah yang mau menikahkan putrinya denganku?Aku tidak punya kedudukan dan tidak pula harta”. Beberapa hari kemudian Rasululah Saw bertemu dengannya. Rasulullah mennayakan pertanyaan yang sama, dan dia pun menjawabnya dengan jawaban yang sama pula.

Pada pertemuan yang ketiga Rasulullah Saw mengajukan pertanyaan yang sama, dan dijawab dengan jawaban serupa. Maka bersabdalah Rasulullah Saw, “Wahai Julaibib, pergilah ke rumah Fulan ( Rasulullah menyebut nama seorang Anshar ) lalu dikatakan padanya, “Rasulullah Saw menyampaikan salam untukmu dan memintamu untuk mengawinkanku dengan anak perempuanmu.”

Sahabat Anshar yag dimaksud itu berasal dari keluarga terhormat dan terpandang. Maka, berangkatlah Julaibib menemui sahabat Anshar itu. Diketuknya pintu rumahnya dan kemudian disampaikannya apa yang diperintahkan oleh Rasulullah . Sahabat Anshar itu mengatakan ,”Semoga kesejahteraan tercurah untuk Rasulullah . Tapi bagaimana bisa aku mengawinkan anakku denganmu yang tidak punya kedudukan dan harta benda?”

Pada saat itu, istri sahabat itu juga mendengar pesan Rasulullah Saw yang disampiakna oleh Julaibib itu, dan dia pun terheran-heran dan bertanya-tanya: “…( dengan) Julaibib , yang tidak punya kedudukan dan harta?” Dari dalam putrinya yang mukminah mendengar apa yang dikatakan oleh Julaibib dan pesan Rasulullah yang disampaikannya , segera anak perempuan mukminah itu berkata kepada keduaorangtuanya , “Apakah kalian menolak permintaan Rasulullah ? Tidak, demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya!”.

Selanjutnya , terjadilah sebuah pernikahan dan melahirkan sebuah keluarga yang penuh berkah. Ini sebuah rumha tangga yang didasarkan atas ketakwaan kepada Allah dan keridhaan terhadap perintahNya. Beberapa waktu kemudian datanglah seruan jihad. Julaibib pun ikut perang. Dengan tangannya terbunuh tujuh orang musuh. Namun dia sendiri juga terbunuh. Dia meninggal dengan berbantalkan tanah dengan penuh keridhaan kepada Allah Swt, Rasul Nya dan kepada prinsip-prinsip yang menghantarkannya kepada ajal.

Setelah itu Rasulullah memeriksa semua korban dalam perang itu. Dan para sahabat memberitahukan nama-nama siapa saja yang terbunuh. Tak ada nama Julaibib disebut, sebab memng dia tidak terkenal dikalangan sahabat. Namun Rasulullah Saw ingat sekali Julaibib. Beliau hafal nama itu ditengah nama-nama besar yang terbunuh. Sergah Rasulullah ,”Tapi kini aku kehilangan Julaibib”.

Rasulullah Saw mendapati jasadnya penuh dengan debu dan mengusap debu dari wajahnya seraya berkata: “Engkau telah membunuh tujuh orang lalu engkau sendiri kini terbunuh. Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu. Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu. Engkau bagian dariku dan aku bagian darimu.” Ucapan yang merupakan tanda pengenal dari Nabi ini sudah cukup buat Julaibib sebagai tanda dan hadiah.

Sebenarnya nilai seorang Julaibib adalah keimanannya, kecintaan Rasullah kepadanya dan prinsip yang dia pegang teguh sampai dia harus mati karenanya. Kemiskinan dan ketidakjelasan garis keluarganya tidak pernah menjadi penghambat untuk memperoleh kedudukan yang mulia dan besar ini. Dia telah mencapai cita-citaya untuk mati syahid, mendapatkan kebahagiaan didunia dan diakhirat. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Ali-Imran : 170,

فَرِحِينَ بِمَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِٱلَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا۟ بِهِم مِّنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

 “Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” ( QS. Ali-‘Imran : 170 )

Dalam Tafsir al-Muyassar dijelaskan, Sungguh kebahagiaan telah menyelimuti jiwa mereka dan kegembiraan telah melingkupi hati mereka berkat anugerah yang Allah limpahkan kepada mereka. Mereka terus berharap dan menunggu saudara-saudara mereka yang masih ada di dunia akan menyusul mereka. Karena jika mereka terbunuh di medan jihad, mereka akan mendapatkan anugerah seperti mereka. Tidak ada kecemasan terhadap mereka dalam menghadapi urusan Akhirat yang akan mereka hadapi. Dan mereka tidak bersedih hati atas kekayaan duniawi yang luput dari mereka.

Sesungguhnya nilai diri itu ada dalam makna-makna dan sifat-sifat mulia yang ada dalam diri. Kebahagiaanmu ada dalam pemahaman, perhatian dan keinginanmu yang kuat terhadap sesuatu.

Kemiskinan dan kelemahan bukan hambatan bagi seseorang untuk mencapai prestasi yang baik, untuk sampai ke tujuan dan unggul atas orang lain. Maka berbahagialah orang yang telah  mengrtahui  harga dirinya, berbahagialah orang yang telah membuat jiwanya bahagia dengan impian yang telah dicapainya, jihad yang diikutinya, dan akhak baik yang menjadi nilainya. Berbahagialah bagi yang telah menjadi baik sebanyak dua kali , yang berbahagia di dua kehidupan dan mendapat kemenangan dua kali yaitu di dunia dan di akhirat.

Wallahu a’lam bishhowab.

Sumber Referensi :

  • DR. ‘Aidh al-Qarni, 2007. dalam  La Tahzan diterjemahkan Samson Rahman dengan judul “La Tahzan: Jangan bersedih!” . Jakarta : Qisthi Press. Cet: XXXVIII
  • DR. ‘Aidh Al Qarni, 2008. Tafsir al Muyassar, Jakarta: Qisthi Press.

Tinggalkan Balasan

Alamat email anda tidak akan dipublikasikan. Required fields are marked *